Wangxian

Wangxian
Tampilkan postingan dengan label fanfic coretan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fanfic coretan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 September 2011

Omae mo daiji nan da! Kau sama pentingnya bagiku!


Indonesian - Drama/Romance - Alan H. & Eric S. - Published: 09-01-11 - Complete

Desclaimer : saya tidak memiliki Alan atau Eric pada cerita ini, semua character yang muncul adalah milik Yana Toboso.


Afternoon - Infilmatry

Eric duduk di sudut ranjang tempat ia membaringkan Alan yang tidak sadarkan diri. Mereka baru  saja kembali dari tugas mengambil jiwa dari dunia manusia. Sepanjang perjalanan itu, Eric terus saja memaki dirinya dalam hati. Kenapa baru sebentar saja ia mengalihkan perhatian dari patnernya, iblis sudah menemukan Alan dan membuatnya terjebak pada situasi seperti itu. Benar, penyakit itu memang bisa sewaktu-waktu datang menghampiri Alan. Shi no Toge, si Duri Kematian yang bersarang pada tubuh rekannya dan menggerogotinya. Tentu saja iblis-iblis itu akan mengincar Alan karena mengingat kondisi Alan yang rapuh, iblis-iblis itu pasti ingin mencuri jiwa-jiwa yang telah diambilnya. Kalau saja Eric tidak harus membagi tugas dengan Alan di tempat berbeda, dia pasti bisa menolong Alan lebih cepat.
Dengan membiarkan saja lengan kirinya terus mengeluarkan darah, ia memapah Alan yang tak sadarkan diri menuju ruang perawatan di Shinigami Dispatch Society. Ia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkan dirinya sendiri. Wajah Alan begitu pucat pasi… Putih dan begitu pucat seperti seakan nyawa tidak tinggal lagi disitu. Eric terus khawatir. Tapi dia sangat sadar, kalau saat ini ia harus lebih tenang dan optimis karena hanya dengan begitu ia dapat menguatkan Alan untuk terus berada di sisinya. Dia paling benci kalau Alan menerima serangan itu, tanpa adanya iblis-iblis sebagai musuh pun jiwa Alan sudah berada diambang kematian. Dan, melihat Alan yang tak berdaya seperti itu merupakan hal yang begitu menyakitkan baginya.
“Alan… Bangun, sadarlah…” panggil Eric dengan suara yang teduh sambil menatap wajah tertidur Alan yang ia anggap begitu suci. Kalau saja Alan benar-benar hanya sedang terlelap akan jadi alangkah baiknya… Beberapa menit lalu ia melihat Alan begitu kesakitan memegangi dadanya. Tanpa mampu berbuat apapun Eric hanya bisa melihatnya saja, melihat Alan menderita didepan matanya namun sedikitpun rasa sakit itu tak mampu ia kurangi.
“Kalau kau tidak bangun, aku akan marah.”
Alan tak kunjung bangun. Eric pun mendekatkan wajahnya ke telinga Alan dan berbisik. “Aku akan menunggumu untuk bangun, aku akan berada disisimu ketika kau membuka mata. Jadi kumohon bangunlah…”
お前と痛みを分け合えるなら、どんな罪を犯そう。
お前が死んだら氷のほほに、一度だけキスして。
Jika aku bisa membagi rasa sakitmu denganku, dosa apapun kan rela kulakukan.
Jika kau mati, sekali saja aku ingin mencium pipimu yang membeku.
-oOo-

Hal pertama yang Alan rasakan adalah ada seseorang yang menggenggam tangannya dengan begitu erat. Eric yang menggenggam tangannya. Entah perasaan tenang apa yang membuatnya begitu nyaman setelah tahu ada Eric disisinya.
Dadanya masih sedikit sakit, tapi ia memutuskan untuk bangun saja. Ia harus memberi tahu Eric dan William bahwa ia sudah baik-baik saja sekarang. Ia tahu dirinya ada di ruang perawatan karena akhir-akhir ini memang dia sering sekali berada disini. Ia jadi hafal dan terbiasa dengan ruangan sempit ini.
Alan  bangun, kemudian menarik tangannya yang digenggam Eric tetapi pria pirang yang tengah tertidur di samping ranjangnya itu enggan melepaskan genggamannya itu. Genggaman tangan Eric begitu kuat seakan sama sekali tidak ingin membiarkannya lepas sedetikpun. Sesungging senyum kemudian muncul di sudut bibir Alan. “Eric-senpai. Jangan tidur disini nanti badanmu jadi sakit lho. Eric-senpai..?” panggil Alan sambil mengguncang lemah bahu pria dihadapannya itu.
“Biarkan saja dia tidur dulu.”
Alan mendongak, melihat atasannya Tuan William T. Spears masuk ke dalam ruang perawatan. “Dia sepertinya lelah,” lanjut Will. “Saat ia datang sambil memapahmu ia terlihat begitu panik.  Bagaimana keadaanmu sekarang? Sepertinya kau bertemu dengan iblis, Alan-san?”
“Saya sudah baikan sekarang. Ya, benar, saya bertemu dengan iblis. Untung saja Eric-san datang menyelamatkan saya. Entah apa yang terjadi kalau tidak…”
“Begitu?” tanya Will. “Kalau begitu kalian berdua pasti lelah. Kalau Eric-san sudah bangun, katakana kalau aku sudah menyerahkan tugas laporan bagian kalian pada Ron jadi kalian bebas tugas malam ini”. William kemudian membenarkan letak kacamatanya, “Juga, pastikan dirimu mendapatkan istirahat dan Eric-san mendapatkan perawatan untuk lengan kirinya. Ia tidak membiarkan orang lain mengobatinya sedari tadi. Dan pastikan besok kalian menulis laporan panjang untuk kejadian kali ini.”
Alan baru tersadar bahwa lengan Eric terluka. Pasti luka itu didapatnya saat pertarungan dengan iblis. Memang Eric tidak akan sampai mati seperti dirinya, tetapi Alan sedih seniornya itu harus terluka karena telah menolongnya.
“Kalau begitu, sampai nanti.”
Setelah Will keluar meninggalkan mereka berdua, Alan memutuskan untuk turun dari ranjangnya dan mengambil obat dan beberapa perban di lemari. Tangannya yang digenggam Eric ia tarik dengan kuat sehingga membuat Eric terbangun.
“Alan..?” panggil Eric kebingungan. Sedetik kemudian Eric bersyukur Alan ada dihadapannya, tidak apa-apa. “Daijyoubu?” tanyanya.
Daijyoubu.” Alan menjawab dengan lemah tanpa memandang Eric. Alan lalu menghampiri Eric dengan kotak obat di tangannya, menaruhnya dilantai dekat dengan kaki Eric, kemudian membukanya. Senpainya yang duduk didepannya melongo melihat apa yang Alan perbuat : melepaskan jas Eric, menyobek lengan kiri kemeja Eric. Menyeka darah yang kering kemudian membubuhkan obat lalu memperbannya dengan rapi. Sesekali Eric mengaduh tapi Alan tak menghiraukannya. Ia paling benci dengan orang yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Alan begitu kesal kali ini.
Okottenno ka? Kau marah Alan?” Eric bertanya.
Okotteru yo, Eric-senpai.” Jawab Alan marah.
“Kenapa kamu marah?”
“Karena kau terluka karenaku.”
“Aku tidak apa-apa.”
“Tapi aku tidak bisa tidak apa-apa,” ujar Alan.
Eric terdiam dan bingung, ia pasrah Alan harus marah padanya. Memang seharusnya ia juga kena marah karena tak datang lebih cepat untuk menolong Alan. Dia bukan seorang patner yang baik untuk Alan.
Tsuman (maaf)... Kalau saja aku bisa datang lebih cepat dan menolongmu.”
“Bukan itu,” sahut Alan. “Aku marah karena kau harus terluka karenaku, Senpai. Aku yang harusnya minta maaf.” Alan tersadar bahwa kemarahannya sama sekali tidak beralasan setelah mendengae Eric meminta maaf. Alan lalu menarik nafas panjang.
“Aku ingin kau juga tidak melupakan tentang dirimu disaat kau berada bersamaku. Aku ingin kau pun menganggap dirimu penting sama seperti kau memperlakukanku dengan begitu berharga, aku ingin kau menghargai dirimu sendiri sama seperti kau menghargai orang lain, Eric-senpai!” ujar Alan sambil menatap mata Eric lurus, lekat-lekat. Kemudian ia merunduk.
“Karena kau sama berharganya bagiku,” lanjut Alan lirih. Pipinya merah karena malu.

.....eh? gimana?? >,<

A Kuroshitsuji FanFic


Pair : Alan Humphries / Eric Slingby
Desclaimer : all the character is belong to Yana Toboso and KuroMyu II

-Alan’s Apartement 07.11 pm-

Alan memakai kemeja putihnya. Mengancingkan kancingnya satu per satu pelan-pelan. Pagi ini ia bangun dari tidur tapi rasa letihnya sejak kemarin sama sekali tak hilang. Sudahlah, pikirnya. Hari ini ia berencana untuk tidak terlalu memaksakan diri, mengingat sepertinya rekan-rekannya terlihat mengkhawatirkannya, mereka sudah tahu dan mulai memperlakukannya berbeda. Ia akan mencoba berusaha sebisa yang mampu ia lakukan saja, setidaknya ia tidak akan membuat orang lain menjadi repot karena harus mengurusi dia. Tidak lagi.
Harga dirinya sebenarnya sudah cukup terluka karena ia seperti membiarkan orang lain memperlakukannya berbeda. Tapi kini ia sadar betul setelah serangan kemarin. Kemampuannya memang terbatas. Sungguh malu ia mengakuinya, ia tidak akan bisa memjadi seperti Shinigami yang diidamkannya bagaimanapun dia berusaha, dia tidak akan bisa menjadi Shinigami seperti Eric-senpai yang sangat ia hormati. Ia mendambakan bisa menjadi Shinigami teladan seperti Eric-senpai. Ia ingin menjadi senior yang bisa diandalkan seperti patnernya itu, tapi Alan sangat sadar. Bahwa sepertinya impiannya yang satu itu tidak akan pernah terwujud, setelah ia terkena Shi no Toge, sang ‘Duri Kematian’.
Berhentilah mengeluh Alan, sekarangpun masih ada yang bisa kau lakukan dengan sekuat tenaga, ujarnya pada diri sendiri. Bekerja di Shinigami Dispatch Society adalah mimpinya sejak dulu. Dia ingin sebisa mungkin berguna telah menjadi Shinigami disana. Agar orang-orang disana senang melihat hasil kerjanya. Dan ia bisa merasakan sedikit arti keberadaan dari dirinya di tempat yang ia rasa paling cocok denganya dan membuatnya nyaman, di Shinigami Dispatch Society  ini. Alan senang bisa menjadi bagian disana.
Ia akan lebih mengandalkan diri sendiri lagi untuk melakukan tugasnya sebagai Shinigami. Ia tidak akan meminta bantuan rekannya lagi, ia tidak ingin merepotkan rekan-rekannya karena kesalahan yang ia buat lagi. Ia tidak ingin membuat orang mengasihaninya, ia tidak ingin membuat orang harus membantunya dan ia tidak ingin selalu harus merepotkan orang lain. Khususnya selalu merepotkan seniornya Eric-san. Ia sudah terlalu banyak berhutang pada seniornya itu. Alan ingat ia selalu dibantu bahkan sejak ia masih junior baru. Terlebih lagi saat ia sadar ada yang tidak beres pada tubuhnya, Eric-sempai selalu mejadi sokongan bagi Alan. Seakan dirinya adalah tanggung jawab Eric-senpai, ia merasa seharusnya ia cukup sadar diri untuk tidak menyusahkan seniornya lebih dari ini.
‘Shi no Toge : Thorns of Death’, penyakit yang mengutuknya.  Setiap kali serangannya datang tubuhnya menjadi begitu lemah tak berdaya. Dadanya luar biasa sakit. Seorang Shinigami yang dijanjikan hidup abadi sepertinya malah terkena kutukan itu. Ia ingin menyalahkan Tuhan, tapi sangat tahu bahwa ini sudah takdirnya. Ia sudah cukup mengeluhkan segalanya sekarang. Tingal ia lebih berusaha lagi maka semua akan bisa teratasi, semua akan baik-baik saja, itu yang dipikirkannya. Ya. Dan setidaknya ia tidak akan membuat orang lain tidak bisa melakukan tugasnya sendiri karena harus memenolongnya lagi. Tidak akan.

-the Headquater 09.40 pm-

“Alan-senpai mada konai no?” Ronald Knox bertanya mengapa Alan belum datang.
“Ee? Mada konai no kai?’ Eric segera membalas, dengan melihat kesekeliling mengapa Alan belum datang. Sudah telat hampir sejam dari waktu mereka semua seharusnya berkumpul pagi ini di Headquater office.
“Alan-senpai bukankah tidak pernah telat? Biasanya dia yang paling rajin bukan, selain William-san tentu saja.”
“Benar,” jawab Eric. Ia jadi merasa sedikit khawatir, apa Alan baik-baik saja? Dia mau tidak mau jadi memikirkan yang tidak-tidak.
“Alan Humphries belum datang?” tanya atasan mereka William T. Spears. “Baiklah, mengingat keadaannya kemarin, hari ini anggap saja dia sedang libur. Baik, ini daftar jiwa yang harus kita ambil hari ini. Masing-masing silahkan diterima dan dicek lagi sebelum kalian turun ke dunia manusia,” ujarnya. “Eric Slingby, sepertinya hari ini kau harus bekerja sendirian, ada cukup banyak jiwa yang harus kau kumpulkan hari ini jadi kuharap kau bisa menyelesaikannya dengan baik”, ujar Wiliam sambil menekan kacamatanya ke dalam hidung.
“Baik.” Eric mengiyakan. Tapi Eric jadi berpikir kalau saja Alan mendengar ia diliburkan hatinya bisa terluka. Tapi Tuan Spears sebenarnya cukup baik, ia membiarkannya membantu tugas lapangan Alan selama ini.

(bersambung...)